Melihat lebih luas apa itu dunia dan manusia.
Bukan hanya itu yang dijumpai dan dimaknai, tetapi lebih luas lagi arti sesungguhnya perkenalan dengan lingkungan baru. Disini aku berharap menjadi yang terluas, jangankan desa tertinggi di dunia, setiap bangku tepi jalan yang ada diseluruh dunia pun akan aku duduki sejalan dengan penantian.
Jangankan semua museum-museum yang ada didunia ini, setiap kuburan-kuburan spooky yang ada diseluruh dunia ini pun akan aku taburi dengan semangat yang telah tertinggal.
Hanya dengan dia aku akan berjalan menapaki dunia ini.
By: Syech Radera
I want to travel all over the world
(Just to take pictures of us kissing in every city)
# Trip 1: Italy, Swiss, France, Belgium, and Netherlands.
Awal catatan perjalanan kami tertoreh di negeri ini, kami akan menyapa bangsa romawi disela kesibukan para gladiator di colloseum. Setelah menjajal semua sisi arena tersebut, dengan manja, si cantik Shactzi mohon ijin untuk bisa berbelanja di Via Condotti dimana para model kelas dunia berbelanja. Membayangkan Shactzi menjadi model kelas dunia yang sedang memperagakan busana para perancang terkenal, diri ini hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah laku Shactzi yang mendatangi semua toko namun hanya membeli satu gaun saja, gaun itu pas dikenakan olehnya. Dengan mengenakan gaun tersebut, dia menggenggam tangan ku, mengajak ku terbang ke tempat lain yang penuh cinta.
Kini kami pun telah berada di depan gerbang Arch of Contatanstine, meniupkan terompet kemenangan dalam hidup kami. Hidup kami yang mungkin tidak lama lagi akan berakhir, digerogoti oleh penyakit yang membuat kami tetap semangat dalam melangkah. Maka melangkah lah kami disini seperti langkah-langkah kami di Jakarta, Dengan penuh harapan kami berjalan di Trevi fountain, seperti harapan-harapan warga kota roma, kami berharap untuk bisa selamanya bersama. Selanjutnya tingkah kami pun layaknya sang raja dan sang ratu, kami menumpahkan semua romansa kami di dalam ruangan Roman Forum peninggalan istana kerajaan Romawi. Dengan cuek kami memperagakan sang raja dan sang ratu yang sedang berdiskusi dengan para pejabat kerajaan untuk mengatasi masalah kerajaan yang pelik. Semua mata yang tersenyum pun tertuju kepada kami, lalu kami yang sudah tidak cuek lagi mengakhiri lakon kami itu. Mata-mata itu masih terarah ke kami yang sudah berjalan menuju pintu keluar.
Aku bonceng Shactzi dengan scooter sewaan menuju tempat dimana darah seni ini terinspirasi. Tercapainya hasrat ingin menumpahkan segala rasa seni yang ku punya, seperti para seniman Florence, ku lukis shactzi yang sedang memandangi menara Pisa. Namun dengan cemberut, shactzi hanya bisa mengomel melihat hasil akhir lukisan ku yang hanya menggambarkan shactzi dari sisi belakang. Untuk merayu shactzi ku minta pada sang mentari agar tersenyum, agar Shactzi bisa melihat lukisan itu dari sisi seni yang sebenarnya berantakan.
Maka, dengan senyum mentari itu pun aku mengajak Shactzi untuk menaiki gondola. Gondola kami bergerak dan selanjutnya terlukis lah kami berdua yang sedang terdiam terpesona melihat bangunan-bangunan klasik “The Serene City” yang legendaris tersebut. Makan siang kami berakhir di café cantik Piazza San Marco, dengan ditemani oleh burung-burung merpati yang berterbangan, kami pun menikmati hasil foto-foto kami yang sedang menjelajahi kota Roma, Florence, Pisa, Venice, dan kota-kota lainnya di Negeri Galileo.
Persinggahan kami terhenti dikota Como / Lugano, karena lapar lagi kami pun menikmati hidangan para chef Lucerne. Sore hari, kami tidak henti-hentinya mengkagumi danau Lucerne yang damai dengan angsa-angsa putih yang cantik-cantik dan melihat dari dekat Chapel Bridge yang begitu indah.
Seorang gadis kecil dengan bola mata biru yang indah tersenyum kearah shactzi, gadis tersebut berdiri di samping pohon besar yang rindang di tepi danau tersebut. Benak shactzi pun melayang menuju gundukan tanah merah di Casablanca, tempat peristirahatan putri kecil kami yang telah tiada. Putri kecil kami yang telah menjadi tabungan kami kelak di surga. Menjelang malam kami berlayar di danau Lucerne dengan Night boat, sambil menyaksikan kesenian khas negeri Swiss, kami terlelah dalam kebahagian.
Pagi hari, dingin meyelimuti kami, kaki kami berdua siap mendaki puncak MT. Titlis, gunung yang selalu ditutupi oleh salju abadi. Diketinggian 3020 meter, puncak dari gunung tersebut, shactzi bercanda bahwa kakinya pegal-pegal. Dengan penuh tawa kami mengingat perjalanan kami menuju puncak hanya menggunakan cable car yang dapat berputar 360 derajat itu. Di depan patung singa, kami mengabadikan diri kami dalam foto yang bertuliskan “The Thief of Lion Monument”.
Salah satu impian kami tercapai disini, dengan menggunakan bus dari kota Lucerne, kami menuju kota mode dunia, Paris melalui kota Beaune. Setelah makan siang, kami beristirahat di motel milik sahabat pena, sahabat yang baru dijabat tangannya setelah bertahun-tahun bercerita tentang kehidupan masing-masing. Sahabat aku itu, ku panggil dengan nama Peter tua. Ku kenalkan shactzi pada Peter, ku kenalkan dia sebagai bidadari penyelamatku. Setelah beristirahat, kami terbangun di malam hari. Dengan mengecup keningnya ku ajak shactzi untuk shalat isya berjamaah.
Pukul 21.30, kami berdua sudah duduk di atas atap motel tersebut, yang sebelumnya kami meminta ijin terlebih dahulu. Diatas atap, ditemani dengan pemandangan kota Paris yang begitu indah dengan kerlap-kerlip lampu kota, kami berdua saling mengucapkan syukur akan nikmat ini kepada sang khalik. Tuhan semesta alam yang akan menjaga kami agar selalu berada pada ridho-NYA dan melimpahkan kami rejeki yang halal dari keringat kami.
Masih dikota Paris, pagi-pagi kami sudah berada di Arch De Triomphe. Seperti milik Julius Caesar, kami juga membuka gerbang milik Napoleon Bonaparte ini. Dengan semangat tidak mau kalah, kami mengingat sejarahnya Masjid Istiqlal dijakarta yang menandakan kemenangan Fatahillah dalam merebut kembali tanah betawi. Lalu dengan lugu shactzi bertanya kepada ku…
“emang Fatahillah orang betawi yah?”
Perjalanan kami di kota Paris berlanjut di Champs Elysees, salah satu jalan yang terkenal di kota Paris itu di penuhi dengan café serta butik terkenal. Iya disitu ada butik-butik seperti Place De La Concorde, Ecole Militaire, dan lainnya yang juga di datangi oleh shactzi. Maka kepala ini geleng-geleng lagi deh lihat shactzi bersemangat dalam belanja.
Setelah kelelahan karena belanja, kami beristirahat di Eiffel Tower. Di lantai teratas kami memandangi seluruh kota Paris di sore hari, mengingatkan kami ke masa kuliah, dimana kami masih pacaran dan bertekad kuat untuk bisa ke menara Eiffel hanya berdua saja kelak. Namun saat itu, sebagai langkah awal dari tekad tersebut, kami harus menjalankan ritual berkhayal akan menara Eiffel diatas Monas terlebih dahulu agar cita-cita kami tercapai. Now here we are (thanks God).
Malam kedua di kota Paris, kami habiskan dengan makam malam romantis ala…ala…ala siapa yah? Ala kadarnya aja deeh. Setelah kenyang, kami terus menduduki bangku terdepan dari acara Seine River Cruise, sebuah cabaret show yang sangat spektakular yaitu Lido De Paris. Lalu malam kedua dan malam terakhir di Paris, setelah acara tersebut, kami kembali ke motel dan mengajak sahabat ku si peter tua mengelilingi daerah-daerah sekitar motel dengan berjalan kaki. Di tepi sebuah jembatan, dengan background kota Paris dan di iringi lagu “I’m with you” nya Avril Lavigne, aku meminta kepada Peter untuk mengambil foto kami berdua yang sedang saling memeluk satu sama lain. Saat sinar itu menyala, aku berkata dalam hati bahwa memang benar kamu SHACTZI orang yang aku cintai, aku bersyukur akan kamu yang sudah aku miliki. Lalu kepada Peter, aku kembali berkata sambil menunjuk shactzi…
“Dia adalah BIDADARI PENYELAMAT KU…”
Perjalanan keesokan harinya yaitu menuju ibukota Negara Belgia, Brussel untuk melihat dari dekat gedung Atomium yang pernah digunakan untuk pameran Mannekin PIS yang legendaris dan Grand Place yang indah serta artistik tersebut. Namun sebenarnya di kota Brussel kami hanya singgah untuk bermalam saja, yang keesokan harinya lagi kami akan berangkat menuju ke negeri kincir angin. Tetap saja dikota ini kami tidak melewatkan semua momen-momen kami dengan berfoto ria disetiap sudut kota ini. Kami menginap di sebuah hotel tua yang murah meriah terletak dipinggiran kota Brussel, dekat dengan terminal bus yang akan mengantarkan kami ke kota Amsterdam. Sebelum menjajali kota Amsterdam kami terlebih dahulu mengunjungi Volendam,
sebuah desa nelayan yang unik. Disana kami narsis berfoto-foto dengan menggunakan kostum khas negeri Belanda. Layaknya nelayan dari negeri belanda, kami menyanyikan lagu Indonesia raya sambil melepas jala ke laut. Nyanyian kami pun tidak berhenti disatu lagu saja, selanjutnya dengan lantang dan bangga kami berdua lanjut menyanyikan lagu…
“neeeneek moyang ku seoooorang pelauuuut…”
Dengan koor yang serentak dari mulut kami berdua, nyanyian kami membuat para kompeni-kompeni tersebut mengangkat senjata, mengarahkan kepada kami, selanjutnya yang terjadi kami hanya bisa cengar-cengir mengacungkan dua jari kami seraya berkata “PEAAACEEEE”.
Tiba di kota Amsterdam pukul 15.00 waktu setempat, kami langsung mengunjungi National Monument dan Rijks Museum. Keputusan kami untuk mengunjungi tempat-tempat sejarah disemua Negara karena didasari oleh hobby Shactzi dalam mengunjungi tempat-tempat seperti tersebut. Awal mulanya semasa SMU, shactzi pernah dijambret di sebuah museum yang terletak di Kota tua. Karena kesal oleh sang penjambret, shactzi bertekad harus menemukan sang penjambret tersebut. Maka dengan niat yang kuat didampingi oleh amarah berapi-api seperti api unggun, setiap harinya setelah pulang sekolah shactzi langsung ke kota tua, mengunjungi semua museum yang ada dikota tua dengan harapan bisa menemukan penjambret tersebut. Namum hari demi hari, sang penjambret tidak berhasil ditemukan malah kebiasaan shactzi tersebut susah ditinggalkan dan menjadi hobby baginya. Padahal kalau ditanya, jika ketemu sama penjambretnya memangnya mau diapain tuh orang? Shactzi dengan polosnya menjawab
“Cuma mau diteriakin JAAAMBREEEEEEEEEEEEEEEEEEEET”
Shactzi cuma mau teriakin aja, soalnya kalau dilihat di tv-tv atau disinetron-sinetron ada adegan penjambretan yang pasti membuat sang korban berteriak kata jambret. Sedangkan kasus penjambretan dimana korbannya shactzi, shactzi belum sempat teriak kata jambret tersebut. Maka dari itu shactzi ngotot banget buat dapetin sang penjambret dirinya itu dengan alasan rugi kalau enggak teriak saat tasnya diambil.
Setelah diri ku bercerita kepada orang-orang yang berada di Rijks Museum tentang kisah penjambretan shactzi tersebut, aku ditarik oleh shactzi keluar dari museum tersebut dan langsung menuju hotel tempat kami istirahat. Malamnya kami tidak kemana-mana, hanya di hotel saja karena keesokan harinya kami akan kembali ke tanah air. Di malam hari itu, shactzi dengan lembut tetapi serius mengatakan bahwa dirinya ingin kembali menghadiahkan aku sesosok mungil dalam kehidupan kami berdua.
Pagi hari yang dingin membangunkan kami agar bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta. Namun sebelum menuju bandara, karena penerbangan kami pukul 14.00 siang nanti, kami menyempatkan diri mengunjungi Gassan Diamonds, sebuah pabrik berlian yang terkenal di Amsterdam. Selanjutnya kami menyusuri kanal-kanal kota Amsterdam dengan Cruise beratap kaca. Di akhir perjalanan, dalam mobil taxi yang kami tumpangi menuju bandara, kami merasa akan kangen dengan perjalanan seperti ini dimana hanya ada kami berdua menjelajahi setiap kota yang ada diseluruh dunia. Dimana hanya ada aku S. Radera dan Shactzi istri ku tercinta bergandengan tangan dalam menapaki semua jalan yang ada di dunia ini. Dalam doa ini, kami berharap akan bisa mengulangi lagi perjalanan ini di trip yang berbeda yang menghadirkan pengalaman berharga dan momentum indah yang bisa kami bagikan di akhir hembusan nafas kami bersama dunia. Amin. Next trip: Spain and Portugal